MERAKIT KEMBALI MAKNA KEHADIRAN GEREJA DALAM KONTEKS PELAYANAN PASTORAL DI TENGAH PROBLEMATIKA HIV/AIDS


            Pada bagian ini saya menggunakan istilah ”evaluasi teologis” dan bukan istilah ”refleksi teologis” sebagaimana yang umumnya digunakan, sebab istilah ”refleksi teologis” sering diartikan sebagai ”renungan” yang sifatnya tidak ilmiah dan biasanya dibuat singkat sekali (satu-dua alinea yang dihiasi ayat-ayat Alkitab yang tidak diterangkan atau ditafsirkan).
            Setelah memperhatikan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya maka kita sampai pada kesimpulan bahwa gereja perlu merakit kembali makna kehadirannya dalam konteks pelayanan pastoral di tengah problematika HIV/AIDS. Meskipun demikian, kita tentu sadar bahwa pelayanan gereja tidak hanya untuk menghadapi problematika HIV/AIDS. Bahwa HIV/AIDS hanyalah salah satu dari sekian banyak problematika yang dihadapi oleh gereja dalam pelayanannya.
            HIV/AIDS dalam konteks kekinian sudah merupakan problematika yang tidak hanya meminta perhatian tapi juga tanggungjawab yang sungguh-sungguh dari semua pihak termasuk gereja. Persoalan HIV/AIDS tidak hanya sebatas pada persoalan belum adanya obat penyembuhnya, tetapi lebih dari itu, bahwa HIV/AIDS ini telah merupakan persoalan kemanusiaan secara global.
            Persoalan kemanusiaan yang saya maksudkan tidak hanya sebatas pada hak untuk hidup. Lebih dari itu, yakni kehidupan yang mencitrakan diri sebagai manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej. 1: 26,27). Dalam pemahaman ini, sekali lagi, sangat tak beralasan untuk mengatakan bahwa persoalan HIV/AIDS bukan persoalan gereja. Bahwa gereja juga hadir tidak hanya untuk orang-orang yang telah percaya kepada Kristus, tetapi untuk dunia, bahkan untuk keutuhan ciptaan.
            Dalam pemahaman itu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seolah-olah gerejalah yang paling bertanggungjawab terhadap penanggulangan masalah HIV/AIDS di jagad raya ini. Yang saya maksudkan bahwa kini gereja sudah harus memberi perhatian dan tanggungjawab terhadap masalah ini. Pewujudan perhatian dan tanggungjawab itu harus dimulai seminim apapun sumber daya yang dimiliki.
            Karya ilmiah ini merupakan wujud dari perhatian dan tanggungjawab terhadap problematika HIV/AIDS. Sebagaimana sering saya katakan dalam karya ini, bahwa perhatian dan tanggungjawab gereja terhadap problematika HIV/AIDS kini harus dimulai. Dan memulainya dalam konteks pelayanan pastoral.
            Bahwa selama ini memang gereja belum memberi perhatian terhadap problematika HIV/AIDS. Karena itu, sekali lagi, kini harus dimulai. Bahwa menjadikan persoalan HIV/AIDS sebagai persoalan pelayanan pastoral tidak hanya sekedar pilihan tapi adalah tanggungjawab.
            Dengan pernyataan di atas saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seolah-olah pelayanan pastoral nanti dilaksanakan ketika ada persoalan. Sama sekali tidak. Tapi oleh karena HIV/AIDS memang secara realistis telah menjadi persoalan, bahkan persoalan kemanusiaan secara global, maka saya masuk dalam kondisi tersebut.
Merakit kembali makna kehadiran gereja dalam konteks pelayanan pastoral di tengah problematika HIV/AIDS adalah salah satu tuntutan yang paling mendesak untuk segera dilaksanakan saat ini. Bentuk rakitan yang dimaksud sebenarnya telah jelas sejak awal penulisan karya ini, yakni menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu tema pelayanan pastoral.
Setelah uraian di atas, menjadi sangat jelas bagi kita, bagi gereja, mengapa saya begitu serius mendorong supaya persoalan HIV/AIDS secara urgen harus menjadi salah satu tema atau pokok dalam pelayanan pastoral. Saya tidak bermaksud untuk mengulangi apa yang telah dan selalu saya katakan. Sekalipun demikian, pengulangan tidak sekedar pengulangan, tapi pengulangan di sini untuk terus mengingatkan kembali betapa mendesaknya tuntutan akan perhatian dan tanggungjawab dari gereja terhadap HIV/AIDS. Bahwa HIV/AIDS dalam kondisi sekarang bukan lagi merupakan persoalan orang asing, persoalan bangsa asing, atau persoalan sekelompok orang atau agama tertentu, tapi sudah menjadi persoalan semua orang. HIV/AIDS sudah menjadi persoalan kemanusiaan di jagad raya ini. Oleh karena ini telah menjadi persoalan kemanusiaan maka berarti itu juga telah menjadi persoalan bagi gereja dan bahkan persoalan bagi semua agama di muka bumi ini.
            Sebagaimana telah saya katakan bahwa ketika kita bersepakat untuk menjadikan persoalan HIV/AIDS sebagai persoalan kemanusiaan, maka itu berarti tuntutan untuk memberi perhatian serius pada persoalan ini bukan saja sekedar pilihan tapi harus menjadi tanggungjawab. Tanggungjawab gereja, tanggungjawab semua agama dan tanggungjawab kita semua secara bersama. Sampai di sini, sekali lagi, bahwa tidak ada alasan bagi gereja untuk menolak jika ada tuntutan dan desakan untuk melihat dan menjadikan persoalan HIV/AIDS sebagai persoalan pelayanan pastoral.
            Dalam pemahaman seperti itu tentu kita datang pada persoalan bagaimana mengkonkritkan titik temu antara problematika HIV/AIDS dengan pelayanan pastoral. Menurut saya, sebagaimana dijelaskan pada Bab II, salah satu titik temunya terletak pada bagaimana gereja mengimplementasikan fungsi-fungsi pelayanan pastoral dalam menghadapi berbagai kondisi yang dialami oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
            Saya tidak bermaksud mengulangi apa yang telah saya jelaskan, yakni tentang fungsi-fungsi pelayanan pastoral. Bahwa, sekali lagi, pengulangan bukan sekedar pengulangan, tapi pengulangan untuk mengingatkan kembali. Saya bermaksud untuk menegaskan betapa indahnya ketika fungsi-fungsi pelayanan pastoral sebagaimana di jelaskan dalam Bab II dapat diberlakukan terhadap ODHA dalam segala kondisinya. Tentu tidak hanya untuk ODHA, tetapi juga untuk semua warga gereja dalam panggilannya untuk saling menggembalakan, baik terhadap ODHA maupun dalam upaya pencegahan dari bahaya HIV/AIDS.
            Pertama,  fungsi mengasuh/memelihara. Fungsi ini akan sangat penting dalam pelayanan pastoral kepada ODHA. Dengan ini ODHA diharapkan dapat tetap dimampukan untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Tuhan Allah kepada mereka disepanjang perjalanan hidupnya dan untuk tetap melanjutkan kehidupannya sekalipun dalam situasi sulit. Demikian juga dengan warga gereja pada umumnya, akan tetap saling memelihara cinta kasih dalam hubungan-hubungan yang harmonis baik dengan sesama warga gereja, termasuk dengan ODHA, maupun dengan Tuhan. Ini tidak sekedar pilihan, tapi kini telah menjadi tuntutan dan tanggungjawab setiap warga gereja dalam pekerjaan pelayanan dalam dunia milik Tuhan.
Kedua, fungsi menyembuhkan. Fungsi ini dalam pelayanan pastoral tentu tidak harus dipahami dalam pengertian penyembuhan fisik atau penyembuhan secara medis. Upaya penyembuhan psikis karena adanya stigmatisasi negatif dan penolakan dari masyarakat justru akan lebih penting dan lebih besar pengaruhnya terhadap kondisi ODHA. Begitu pula dengan rekan sekerja/sepelayanan atau keluarga dari ODHA yang telah menderita dengan sangat parah bahkan jika telah meninggal, tentu bisa saja mengalami dukacita dan luka batin yang biasanya berakibat pada psikomatis (suatu penyakit yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang berat). Kondisi ini tentu memerlukan perhatian yang penuh kasih sayang dan kepedulian yang tinggi, sehingga bisa membuat orang yang sedang menderita tetap merasa aman. Dalam kondisi yang indah ini orang yang menderita dapat dibawa pada hubungan yang indah dengan Tuhan.
Ketiga, fungsi membimbing dalam pelayanan pastoral tentu akan sangat penting artinya bagi semua warga gereja khususnya ODHA dalam menghadapi berbagai aspek persoalannya. Warga gereja dibimbing dan saling membimbing supaya tidak tertular dan kemudian menjadi korban HIV/AIDS. Seseorang yang telah divonis sebagai ODHA tentu juga sangat membutuhkan bimbingan untuk keluar dari kebingungan dan kesulitannya. Ia mesti dibimbing untuk dapat memilih atau mengambil keputusan yang benar dan bertanggungjawab. Demikian pun seluruh warga gereja mesti dibimbing untuk terus memberi perhatian dan bertanggungjawab terhadap penanggulangan HIV/AIDS sebagai bagian dari pekerjaan pelayanannya.
            Keempat, fungsi menopang/menyokong. Fungsi ini akan sangat bermanfaat, secara khusus bagi ODHA, untuk dapat bertahan dalam situasi krisis. Situasi krisis juga bisa terjadi pada keluarga, rekan sekerja/sepelayanan dari ODHA. Krisis bisa terjadi misalnya karena adanya penolakan dari lingkungan sekitar (karena salah paham tentang HIV/AIDS) terhadap ODHA. Dalam kondisi ini, topangan atau sokongan, sekurang-kurangnya dapat berupa kehadiran dan sapaan yang menyejukkan serta sikap terbuka terhadap ODHA tentu akan mengurangi penderitaan yang dialami oleh ODHA. Saling menyokong atau menopang dari semua warga gereja, dalam kondisi ini, tentu menjadi hal yang harus.
Kelima, fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan. Fungsi ini akan sangat bermanfaat bagi upaya untuk membangun kembali hubungan-hubungan yang rusak yang telah melibatkan ODHA. Rasa benci, dendam, depresi, ketidakstabilan emosi, stigmatisasi negatif, pengucilan, bisa merusak hubungan kemanusiaan, bahkan mungkin hubungan dengan Tuhan. Dalam kondisi ini gereja dalam pelayanan patoral akan sangat berperan penting.
            Keenam, fungsi mengutuhkanFungsi ini adalah fungsi inti karena sekaligus merupakan tujuan utama dari pelayanan pastoral, yakni pengutuhan kehidupan manusia dalam setiap aspek kehidupannya yakni fisik, sosial, mental dan spiritual. Kerusakan, keretakan, kehancuran dan kebobrokan (yang menyebabkan penderitaan) adalah lawan dari keutuhan. Dalam proses pelayanan pastoral untuk memenuhi fungsi ini, demikian juga terhadap fungsi-fungsi yang lain tentu memerlukan perencanaan serta strategi pelayanan yang efektif, efisien dan matang. Bahwa kerusakan, keretakan, kehancuran dan kebobrokan yang menyebabkan penderitaan merupakan lawan dari keutuhan. Bahwa pelayanan pastoral terhadap warga gereja pada akhirnya dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun keutuhan. Keutuhan sebagai manusia ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah dan juga keutuhan sebagai warga gereja dan sekaligus sebagai tubuh Kristus.  
            Sampai di sini, menjadi sangat jelas betapa urgensinya menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu tema pelayanan pastoral sebagai bagian dari tugas pelayanan gereja secara utuh. Persoalan kita sekarang bukan lagi apakah kita sebagai gereja mampu atau tidak dalam mengemban tugas-tugas pelayanan pastoral sebagaimana dimaksud dalam karya ilmiah ini. Persoalan kita, sebagaimana telah saya katakan, adalah pada komitmen pelayanan kita, komitmen pelayanan gereja, yakni apakah kita mau atau tidak?
            Bahwa dalam konteks kekinian, problematika HIV/AIDS tidak hanya menuntut kepedulian dan perhatian, tetapi lebih dari itu, telah menuntut tanggungjawab dari semua pihak termasuk gereja. Menjadikan problematika HIV/AIDS sebagai salah satu tema pelayanan pastoral berarti gereja mulai merakit kembali makna kehadirannya dalam konteks pelayanan pastoral di tengah problematika HIV/AIDS. Persoalan kita, sekali lagi, terletak pada komitmen pelayanan kita sebagai gereja, apakah kita mau atau tidak?

Komentar

  1. Bet365 Casino & Hotel, Las Vegas - JT Hub
    Book a 부산광역 출장안마 stay at 여주 출장안마 the Bet365 Casino & Hotel, Las 세종특별자치 출장마사지 Vegas (Nevada) with JT Hub. See all the available 구리 출장안마 amenities, games, 광양 출장마사지 promos and promotions.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AD/ART GMKI

UNIVERSALISME MENURUT YUNUS 3: 1 - 10

PROBLEMATIKA HIV/AIDS DAN PELAYANAN PASTORAL