PROBLEMATIKA HIV/AIDS DAN PELAYANAN PASTORAL


           
A.    HIV/AIDS
            Pada bagian ini saya akan menjelaskan beberapa pokok penting tentang HIV/AIDS untuk memberikan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS. Pokok-pokok yang akan diuraikan di bawah ini adalah: pengertian istilah HIV/AIDS; Sejarah Singkat HIV/AIDS; Penularan HIV/AIDS; Gejala-gejala AIDS; Kondisi ODHA; Pencegahan Penularan HIV/AIDS.

1.      Pengertian Istilah
  1. HIV
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yang secara medis berarti virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.[1]
  1. AIDS 
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yang secara medis berarti kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus. Virus ini adalah HIV. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh HIV.[2]
Biasanya sistem kekebalan tubuh melindungi tubuh terhadap penyakit. Kalau sistem kekebalan tubuh dirusak oleh virus HIV, maka serangan penyakit yang biasanya tidak berbahayapun akan menyebabkan sakit dan meninggal. Karena itu penderita AIDS yang meninggal bukan semata-mata disebabkan oleh HIV, tetapi oleh penyakit lain yang sebenarnya bisa ditolak seandainya daya tahan tubuhnya tidak dirusak oleh virus HIV.[3]

2.      Sejarah Singkat HIV/AIDS
Belum diketahui dengan jelas dari mana dan kapan tepatnya HIV/AIDS muncul. Namun diperkirakan penyakit ini sudah berkembang luas di Sub Sahara Afrika pada tahun 1970.[4] Meskipun demikian, informasi lain mengatakan pada tahun 1959 seorang pria di Kongo, Afrika meninggal karena penyakit yang belum teridentifikasi, dan beberapa tahun kemudian analisis terhadap contoh darah orang tersebut disimpulkan serta dianggap bahwa itu merupakan kasus pertama infeksi HIV di dunia.[5]
Sampai kini belum ada kesepakatan tentang kapan dan dari mana HIV/AIDS berasal. Untuk di Sulawesi Utara, kasus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1997.[6] Secara terperinci tak ada informasi yang jelas tentang sejarah ini. Satu hal yang jelas bahwa sampai kini sudah lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) penderita HIV/AIDS di Indonesia termasuk di dalamnya 419 (empat ratus sembilan belas) warga Sulawesi Utara.[7]         

3.      Penularan HIV/AIDS
Pada dasarnya HIV/AIDS tidak mudah menular seperti penularan virus influensa. Oleh karena HIV/AIDS terutama terdapat di dalam darah, air mani dan cairan vagina, maka proses penularannyapun terutama terjadi sebagai berikut:


F Lewat cairan darah
Penularan lewat cairan darah dapat terjadi, antara lain, melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Dapat juga melalui jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai berulang kali tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik di kalangan pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya).
F Lewat cairan sperma dan cairan vagina
Ini merupakan jalur penularan HIV/AIDS yang paling umum ditemukan. Misalnya melalui hubungan seks penetratif (penis masuk ke dalam vagina/anus) tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) atau tercampurnya cairan sperma dengan darah yang mungkin terjadi dalam hubungan seks melalui anus (anal seks).
F Lewat jalur perinatal
Penularan jenis ini dimungkinkan dari seorang ibu yang mengidap HIV positif kepada anaknya. Hal ini bisa terjadi saat anak masih berada dalam kandungan atau ketika dalam proses melahirkan atau juga sesudah lahir melalui air susu.

            Hubungan sosial seperti biasa tidak dapat menularkan HIV, karena hubungan sosial biasa tidak memungkinkan terjadinya pertukaran cairan tubuh yang dapat menularkan HIV. Jadi tidak benar bahwa HIV/AIDS ditularkan karena:
F Hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS (yang penting tidak terjadi kontak yang memungkinkan terjadinya penularan sebagaimana penjelasan di atas);
F Satu sekolah atau sekantor
F Sama-sama menggunakan fasilitas umum: WC, kolam renang, kamar mandi;
F Bersenggolan atau berjabat tangan dengan penderita HIV/AIDS asal saja tangan kita tidak ada luka terbuka yang memunginkan terjadinya kontak darah;
F Bersentuhan dengan pakaian atau barang-barang bekas penderita AIDS;
F Berpelukan atau berciuman pipi;
F Penderita AIDS bersin atau batuk dekat kita, bahwa udara tidak dapat menjadi media penularan HIV/AIDS;
F Makanan dan minuman;
F Gigitan nyamuk dan serangga lainnya;
F Air mata, keringat, air liur/ludah, air kencing.[8]
   
Pertanyaan menarik adalah mengapa HIV tidak dapat tertular dalam hubungan sosial biasa? Jawabannya sederhana, yakni HIV sangat rapuh jika di luar tubuh manusia. Selain itu, untuk menular diperlukan konsentrasi virus yang cukup tinggi. Bahwa memang HIV hanya biasa hidup dalam tubuh manusia, yakni dalam darah, cairan sperma dan cairan vagina.
Dalam kaitannya dengan penularan, harus juga diketahui bahwa pada dasarnya siapa saja dapat tertular HIV/AIDS. Tak peduli kebangsaannya, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonominya. Akan tetapi dalam dunia medis disebutkan juga istilah “kelompok berisiko tinggi” tertular HIV (meskipun, sekali lagi, semua orang dapat memiliki risiko yang sama tinggi). Yang sering dikategorikan sebagai kelompok berisiko tinggi adalah:
Ø  Orang yang sering berganti-ganti pasangan seksual, seperti pekerja seks komersial beserta pelanggannya, kelompok homoseks, biseks dan waria. Bahwa hubungan seks sekali saja dengan pengidap HIV dapat terjadi penularan HIV. Tingkat risiko tertular HIV melalui hubungan seks memang jauh di bawah risiko tertular melalui transfusi darah tetapi kenyataannya, menurut Lumentut, berdasarkan data-data yang diperoleh dalam bidang medis didapati bahwa 90% penularan terjadi melalui hubungan seks.[9]
Ø  Penerima transfusi darah 
   
4.      Gejala-gejala AIDS
Hal lain yang menjadi keunikan penyakit ini adalah bahwa seseorang yang telah mengidap HIV tidak dapat dibedakan dari orang lain. Seorang pengidap HIV terlihat biasa saja seperti halnya orang sehat karena tidak menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang telah mengidap HIV juga masih dapat melakukan aktifitas sebagaimana biasanya orang yang sehat, termasuk aktifitas seksualnya. Ia tidak dapat dibedakan dari orang lain. Akan tetapi walaupun seseorang yang telah menjadi pengidap HIV belum menunjukkan gejala-gejala, ia tetap saja sudah dapat menularkan kepada orang lain. Hal ini bahkan bisa terjadi selama 5 – 10 tahun.[10] Tergantung daya tahan sistem kekebalan tubuhnya.
Secara umum fase-fase AIDS dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Ø  Periode jendela (windows period): berlangsung ± 3 – 6 bulan
Ø  Masa laten/asimtomatik (tanpa gejala): berlangsung 5 – 10 tahun. Pada tahap ini HIV positif
Ø  Masa AIDS Related Complex (ARC), berlangsung 2 tahun, sampai akhirnya meninggal

Penting dijelaskan bahwa sesudah periode 5 – 10 tahun, yakni pada 2 tahun terakhir barulah akan muncul gejala-gejala AIDS, antara lain:
F Rasa lelah yang berkepanjangan;
F Hilangnya selera makan
F Sering demam (lebih dari 380C) serta berkeringat secara berlebihan pada malam hari;      
F Sesak nafas dan batuk berkepanjangan;
F Terjadi gangguan pada rongga mulut dan tenggorokan
F Berat badan menurun secara drastis/menyolok lebih dari 10 % dalam 3 bln secara terus menerus;
F Pembengkakan kelenjar pada leher, ketiak dan lipatan paha;
F Bercak merah kebiruan pada kulit;
F Diare yang berkepanjangan[11]
Meskipun demikian haruslah disadari bahwa gejala-gejala tersebut di atas belum dapat dijadikan patokan bahwa itu adalah penyakit AIDS, karena masih merupakan gejala-gejala umum yang mungkin juga dapat terjadi sebagai gejala pada penyakit lain. Untuk memastikannya seseorang mengalami gejala-gejala tersebut tentu saja harus lah memeriksakan dirinya ke dokter.
   
5.      Kondisi ODHA
Beberapa kondisi yang terjadi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang perlu diketahui dapat dibedakan dalam beberapa aspek berikut:
v  Psikologis
Sudah tentu ODHA akan mengalami persoalan-persoalan secara psikologis. Inipun sangat bervariasi. Ada yang mengalami depresi ketika mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV, belum lagi adanya stigmatisasi negatif dan diskriminasi dari lingkungannya. Kemungkinan yang bisa muncul juga adalah rasa dendam terhadap tindakan diskriminatif. Jika ini terjadi maka bisa saja terjadi konflik sosial. Ada pula yang bersikap sangat cuek, tak peduli dengan apa pun yang terjadi pada dirinya. Ini kemudian bisa berimbas pada upaya mengasingkan diri atau tak mau bergaul dalam kehidupan sosial sebagaimana biasanya.     
v  Gizi
ODHA pada umumnya memerlukan gizi ekstra. Ini perlu karena, antara lain, sistem kekebalan tubuh pada ODHA semakin lama semakin menurun karena kerja virus HIV. Jika faktor gizinya tidak diperhatikan maka itu sama saja membiarkan percepatan pada kondisi yang lebih parah dan kemudian meninggal. Bahkan menurut dr. Nora Lumentut faktor gizi sebenarnya merupakan treatment utama bersama perhatian pada faktor psikologisnya sebelum treatment-treatment lainnya.
v  Hygienis
Selain dukungan faktor psikologis dan gizi, aspek lain yang perlu diperhatikan terhadap ODHA adalah faktor hygienisitas. Bahwa kebersihan pada makanan dan minuman misalnya akan menjauhkan pada kemungkinan terkena infeksi tambahan. Hal ini karena sumber infeksi akan membebani kerja sistem kekebalan tubuh (imunitas) sehingga mempercepat menuju AIDS. Singkatnya dapat dikatakan bahwa prilaku dan lingkungan yang buruk cenderung mempercepat timbulnya AIDS. 
v  Fisik
Kondisi sakit dan sehatnya badan akan sangat bergantung pada kondisi-kondisi lain, termasuk kondisi fisik. Pada umumnya penyakit masih ada respon terhadap pengobatan bila ditopang oleh kondisi fisik yang stabil. Akan tetapi pada umumnya kondisi fisik ODHA akan semakin lemah. Karena itu tentu saja ODHA membutuhkan dosis yang makin besar dan multi obat untuk menambah daya kekebalan tubuh, jadi bukan untuk menyembuhkan. Sekalipun demikian pada stadium akhir ODHA akan secara terus-menerus mengalami kelemahan.   
v  Lingkungan
Selain hygienisitas pada makanan dan minuman, faktor lingkungan ODHA juga perlu diperhatikan. Terhadap alam sekitar, misalnya, perlu untuk diperhatikan kebersihan, kesegaran serta cuaca yang baik. Ini akan menunjang daya tahan ODHA. Kondisi lingkungan yang tidak sehat bisa saja menimbulkan banyak penyakit infeksi dan cenderung makin cepat timbulnya AIDS.
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan tidak hanya kondisi alam tapi juga adalah lingkungan sosial. Hal yang penting terkait kondisi lingkungan sosial ODHA adalah sikap penerimaan atau penolakan, stigmatisasi negatif atau dukungan, akan sangat berpengaruh. Tentu yang dibutuhkan oleh ODHA adalah penerimaan dan dukungan dari lingkungan sosial, sekurang-kurangnya rekan dan keluarga. Jika terjadi sebaliknya, yakni penolakan atau diskriminasi terhadap ODHA maka ia bisa saja mengalami depresi, stres, dendam, bahkan bisa terjadi konflik sosial untuk melampiaskan kemarahan dan kebenciannya.      
v  Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan oleh ODHA atau dalam rangka penanganan terhadap ODHA. Bahwa gizi, perawatan dan pengobatan akan baik bila ekonomi baik. Namun harus disadari bahwa sekalipun ekonomi baik bukan berarti pengobatan menjadi faktor kunci. Paling tidak ekonomi baik maka pemenuhan kebutuhan perawatan dan gizi ekstra dapat ditanggulangi, dan dapat dilaksanakan secara kontinyu. Perawatan yang tidak berkesinambungan justru akan memperparah kondisi ODHA.

6.      Pencegahan Penularan HIV/AIDS       
Secara umum  pencegahan terhadap penularan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan:
Ø  Mencari dan menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS kepada orang lain
Ø  Mencegah penyebaran HIV/AIDS dengan menghindari atau memutuskan rantai penularan
Ø  Berprilaku bertanggung jawab
Secara khusus pencegahan penularan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan beberapa cara:
F Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah;
F Menghindari penggunaan jarum suntik, tindik tato, akupuntur yang tidak steril;
F Tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang terinfeksi;
F Menghindari perilaku yang mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan bertanggungjawab;
F Usahakan hanya berhubungan seks dengan isteri/suami yang terikat dalam hubungan nikah yang sah dan tidak berhubungan seks dengan orang lain;
F Bagi kelompok ”risiko tinggi” dianjurkan untuk menggunakan kondom;
F Mengusahakan transfusi darah yang bebas HIV;
F Bagi kelompok ”risiko tinggi” dianjurkan untuk tidak menjadi pendonor darah;
F Bagi ibu yang telah diperiksa dan  ternyata mengidap HIV, hendaknya jangan hamil, karena bisa saja memindahkan virus kepada janinnya.[12]

Ada pula yang mengklasifikasikan upaya penanggulangan penularan HIV/AIDS dengan menggunakan prinsip ABCDE.
A: Abstinence, prinsip ini diartikan sebagai puasa seks, terutama  bagi yang belum menikah.
B: Be Faithful, prinsip ini diartikan sebagai tindakan untuk setia hanya pada satu pasangan. Tidak “jajan” seks ke tempat pelacuran.
C: use Condom, prinsip ini diartikan sebagai tindakan untuk menggunakan kondom bagi kelompok berisiko tinggi. Secara medis bahkan ini “dianjurkan” bagi yang sudah  tak  mampu menahan seks. Pertanyaan menarik adalah: mengapa kondom dipromosikan? Jawabannya adalah  karena sampai saat ini belum ada alat lain yang dapat digunakan untuk pencegahan penularan HIV melalui hubungan seks selain kondom. Secara medis pun dianjurkan supaya dalam penggunaan kondom perlu diperhatikan beberapa hal: kualitas kondom, ukuran kondom harus cocok, memakai pelicin yang berbahan dasar air.
D: no Drugs, prinsip ini diartikan sebagai tindakan untuk tidak mengkonsumsi NARKOBA. Karena, misalnya, penggunaan Narkoba dengan jarum suntik akan memungkinkan penularan HIV. Selain itu, ada kemungkinan penggunaan Narkoba yang telah berlebihan, misalnya sampai mabuk, akan berdampak pada tindakan seks  bebas. Karena itu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi Narkoba.
E: sterilization of Equipment, prinsip ini diartikan sebagai tindakan untuk selalu menggunakan alat suntik yang steril atau baru.

Uraian di atas adalah salah satu dasar bagi kita sebagai gereja untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS. Dengan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS, sebagaimana uraian di atas, maka sekaligus memudahkan kita untuk memahami mengapa HIV/AIDS sangat mendesak untuk menjadi salah satu pokok pelayanan pastoral.

B.     PASTORAL
Pada bagian ini saya akan menjelaskan beberapa pokok yakni: pengertian istilah pastoral; pengertian  pastoral menurut para ahli; pengertian pastoral menurut pandangan Alkitab; serta fungsi-fungsi pelayanan pastoral.
1. Pengertian Istilah 

Istilah pastoral secara etimologis, berasal dari bahasa Latin ”pascere”, (kata kerja) yang berarti menggembalakan dan/atau memberi makan dan "pastor" (kata benda) yang berarti "gembala". Kata "gembala" dalam naskah Ibrani Perjanjian Lama adalah terjemahan dari kata benda רעָה (ro'eh) yang berasal dari asal kata kerja רָעָה (ra'ah). Kata ini pertama-tama diberi arti "memberi makan" (to feed)[13]. Sedangkan dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru digunakan dua kata Yunani yaitu ποίμήν (poimên) yang berasal dari kata kerja ποίμαίνω (poimainô) dan kata βοσκε (boske) yang berasal dari kata kerja βοσκω (boskô) yang mempunyai arti yang sama dan pertama-tama diartikan serbagai "memberi makan" (to feed)[14].
Gembala dalam hal ini tentu berhubungan dengan domba-domba (yang dikiaskan). Secara prinsip arti memberi makan dalam istilah pastoral ini menunjuk pada suatu upaya "pemeliharaan hidup". Penekanan ini memberi makna bahwa sebenarnya pelayanan pastoral itu adalah dalam rangka:  pertama supaya domba itu hidup dan kedua supaya hidup domba itu terpelihara dan ketiga adalah ketikahidup domba itu terpelihara dengan demikian domba itu dapat bertumbuh. Pekerjaan ini tentu harus dikerjakan secara terencana dan terus-menerus agar tujuan tersebut dapat tercapai.
Pastoral adalah kata sifat dari pastor.[15] Orang yang bersifat pastoral adalah seseorang yang bersifat seperti gembala, yang bersedia merawat, memelihara, melindungi, dan menolong yang lain. Bahkan seorang pastor merasa karya semacam itu adalah "yang seharusnya" dilakukannya, katakanlah bahwa itu adalah tanggung jawab dan kewajiban baginya.[16] Secara tradisional, menurut van Beek dalam kehidupan gerejawi hal yang disebutkan di atas merupakan tugas "pendeta", yang harus menjadi gembala bagi jemaatnya atau "dombanya".
Bahkan Zwingly Ruldreich, sebagaimana yang dikutip Steward Hiltner menegaskan bahwa apapun atau segala sesuatu yang dilakukan oleh pastor (atau gembala) adalah tindakan penggembalaan (pastoral). Jadi dapat dikatakan bahwa fungsinya mengikuti profesinya.[17] Namun pendapat ini menjadi benar, menurut Hiltner, sejauh terkait dengan sifat pastor. Artinya jika seorang pastor dengan motivasi, watak dan kerelaan yang kuat, di mana segala tindakan yang dilakukannya dengan sikap penuh perhatian dan kasih sayang kepada seseorang atau kelompok orang yang dihadapinya atau setiap kali melakukannya, dan kalau sikap itu selalu nampak dalam kehidupan setiap saat.[18]
Dalam karya ini saya menambahkan istilah "pelayanan" sebelum kata "pastoral", sehingga sering tertulis "pelayanan pastoral". Kalau dikombinasikan dengan pandangan di atas, hal ini sebenarnya dapat berarti segala sesuatu yang dilakukan oleh pastor yang berdimensi pelayanan.

2. Pastoral Menurut Para Ahli
Para ahli pastoral menggunakan istilah yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan "penggembalaan". Namun pada dasarnya semua mengarahkan perhatian pada, paling sedikit, satu fokus yaitu pemenuhan fungsi-fungsi pastoral (mengasuh, menyembuhkan, membimbing, menopang, mendamaikan, mengutuhkan).
Howard Clinebell mengemukakan bahwa penggembalaan adalah pemanfaatan hubungan antara seseorang dan orang lainnya di dalam pelayanan. Tapi hubungan ini, adalah hubungan yang memungkinkan timbulnya kekuatan dan pertumbuhan. Karena itu bagi Clinebell penggembalaan mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka.[19]
Dalam pelayanan pastoral ini, menurut Clinebell, penggunaan pendeta dan otoritasnya secara konstruktif merupakan salah satu keunikan dari pastoral itu sendiri. Memang tugas Pastoral itu adalah tugas semua warga gereja, tetapi karena seorang pendeta, selain memiliki peran sosial sebagai pemimpin jemaat dan memiliki otoritas rasional (yaitu otoritas yang dimilikinya berdasarkan kemampuan/kompetensinya), ia juga memang memiliki keunikan. Inti dari keunikan pendeta adalah warisan, orientasi, sumber daya dan kesadaran teologis-pastoralnya. 1a dididik dalam dua disiplin yaitu teologi dan psikologi. Bahkan menurut Clinebell, dari ahli konseling, pendeta memiliki pendidikan yang mencakup studi sistematis tentang Filsafat, Teologi, Etika, Alkitab, Sejarah Gereja, Agama-agama Dunia dan Psikologi.[20]
Alastair Campbell mendefinisikan "pendampingan pastoral" sebagai suatu usaha untuk menumbuhkan kasih kepada Allah dan sesama dan tentunya kasih ini ditumbuhkan melalui pemberitaan firman dan persekutuan sakramental.[21]Usaha ini bukanlah usaha yang mudah, karena itu membutuhkan penanganan secara profesional, tentunya oleh mereka yang memiliki profesionalisme. G. Heiting, mendefinisikan pendampingan pastoral sebagai suatu profesi pertolongan pendeta atau pastor dengan mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang injil dan persekutuan dengan gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan iman.[22]
Menurut Thurneysen, sebagaimana yang dikutip oleh Maria Bons-Storm, penggembalaan adalah suatu penerapan khusus injil kepada anggota jemaat secara pribadi, yaitu berita Injil yang dalam khotbah gereja disampaikan kepada semua orang. Sedangkan H. Faber, sebagaimana yang dikutip oleh Maria Bons-Storm, mengatakan bahwa penggembalaan adalah tiap-tiap pekerjaan, yang di dalamnya si pelayan sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh percakapannya atau khotbahnya, atas kepribadian orang, yang saat itu dihubunginya.[23]
Bagi J. L. Ch. Abineno, penggembalaan dapat diartikan sama dengan "pelayanan Pastoral", yaitu pelayanan yang dijalankan oleh Pastor. Tapi elemen penting dari pelayanan pastoral ini, menurut Abineno, yaitu penekanan pada motif gembala, yaitu motif kasih, solidaritas, kesabaran, nasihat dan penghiburan.[24]
Zwingli Ruldreich, sebagaimana yang dikutip Steward Hiltner, seperti telah dijelaskan dalam B.1 di atas, mengartikan pastoral sebagai segala sesuatu pekerjaan yang dilakukan oleh pastor atau gembala. Jadi fungsi pastor mengikuti profesinya. Namun Menurut Steward, pernyataan/kesimpulan ini menjadi benar sejauh terkait dengan sikap pastor. Artinya jika seorang pastor dengan motivasi, kerelaan watak yang kuat, dimana segala tindakan yang dilakukan dengan sikap perhatian dan kasih sayang kepada seseorang atau sekelompok orang yang dihadapinya, atau setiap kali ia melakukan tugasnya dan kalau sikap itu selalu nampak dalam kehidupannya setiap saat.
Dengan pendapat Zwingli ini, dapat dimengerti bahwa pelayanan pastoral tidak hanya sebatas "perkunjungan" dan "percakapan" atau pelayanan yang terjadi kalau ada masalah. Sekali lagi, pastoral disini adalah pekerjaan pelayanan pastor (atau pendeta) secara utuh dan menyeluruh (holistik) yang berdasarkan kasih.
Berbicara tentang pastoral, ternyata lembaga-lembaga atau institusi gereja seperti Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) secara umum dan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) juga memberi perhatian khusus terhadap pastoral ini. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dalam Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) PGI[25] dan dalam Tata Gereja GMIM 1999[26]. Sekalipun demikian, penjelasan tentang pastoral yang termuat dalam Tata Gereja GMIM sepertinya masih dipahami sebatas "perkunjungan" dan "percakapan" bahkan lebih memberi perhatian khusus pada upaya penanganan masalah.[27]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya pastoral adalah segala sesuatu pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh gembala atau pastor secara utuh dan menyeluruh yang dilaksanakan secara terencana dan terus-menerus.

3. Pastoral Menurut Pandangan Alkitab

C. Landasan Alkitabiah  
Terlalu banyak bagian Alkitab yang berbicara tentang penggembalaan atau pastoral. Dalam karya ini hanya beberapa bagian saja yang akan dibicarakan.
C.1. Perjanjian Lama
Ø  Mazmur 23:1- 6
Dalam bagian Mazmur ini Tuhan sendirilah Gembala itu. Tentu dalam konteks kita di Indonesia, agaknya, peranan gembala (ternak) itu kurang mendapat perhatian. Berbeda dengan peranan gembala di dunia Timur Tengah. Dunia Timur Tengah adalah dunia atau konteks penulisan Alkitab. Karena itu baiklah kita mengerti terlebih dahulu bagaimana peranan gembala dalam konteks dunia Timur Tengah supaya kita mengerti juga mengapa istilah itu dipakai di (beberapa bagian) Alkitab (yang akan dibicarakan di sini). Untuk menggambarkan peranan seorang gembala di Timur Tengah, Marie C. Barth dan B. A Pareira menulis:
“Untuk mendapatkan sepetak tanaman hijau dibutuhkan perjalanan melewati tanah yang berbatu-batu dan padang tandus di daerah Palestina itu. Sehingga para gembala dan kawanannya harus mengembara antara gurun dan daerah pertanian. Mereka berpindah-pindah dari padang yang berumput pada musim semi, sesudah hujan turun dan yang kemudian yang hangus tandus pada musim panas ke lembah yang masih berair pada musim kemarau, lalu masuk ke daerah perladangan sesudah panen dikumpulkan. Seorang gembala harus mengenal setiap mata air, sumur, wadi, sungai, memperhitungkan di mana masih terdapat rumput menurut musimnya, memelihara induk-induk domba yang bunting atau menyusui serta anak-anaknya yang belum dapat berjalan jauh, menolong binatang-binatang yang terluka pada batu-batu tajam dan berduri, menghindari agar seekor kambing-domba jangan meninggalkan kawanan di perjalanan atau kalau takut guntur, juga gembala membela kawanan terhadap binatang buas dan pencuri ...[28]

Ini menunjukkan bahwa hidup gembala itu amat berat. Kesiagaan yang terus menerus dan keberanian yang tidak kenal takut serta kasih dan sabar terhadap kawanan dombanya, itulah yang menjadi ciri-ciri yang penting dari seorang gembala. Tugas seorang gembala menuntut tanggung jawab yang besar sehingga ia disamakan oleh masyarakat kuno dengan tugas pemerintahan seorang raja, bahkan dengan tugas pemeliharaan manusia oleh Tuhan Allah.[29]Ia adalah gembala atas manusia. Ia memberikan ketenangan, Ia membimbing, menuntun. Hal ini bahkan terjadi sepanjang masa (ayat 6). Hanya dengan kasih, tugas ini dimungkinkan untuk dikerjakan. Allah adalah kasih, Ia adalah Gembala Agung.
Kata "gembalaku" dalam ayat 1 adalah terjemahan dari kata Ibrani רׁעִי(ro'i) yang secara harafiah berarti "gembala milikku". Kata ini berasal dari kata kerja רָעָ (ra'ah) yang pertama-tama berarti "memberi makan". Hubungan antara gembala dan domba dalam PL (yang juga dipakai di dalam masyarakat Timur Tengah Kuno), awalnya tidak menunjuk pada hubungan Allah dengan pribadi seseorang melainkan hubungan Allah dengan sejumlah orang/umat. Selain itu juga gambaran Allah sebagai Gembala menunjuk pada perbuatan-perbuatan Allah yang telah membimbing/ menuntun umat perjanjian (mis. Yes. 40: 11). Sebagai gembala ia harus bertanggungjawab terhadap kehidupan domba. Hal utama yang harus dilakukan oleh gembala adalah memberi makan pada domba-dombanya agar hidup mereka dapat terpelihara.
Dalam terjemahan Alkitab versi New International Version (NIV) dan versiKing James Version (KJV) kata ”ro’i” diterjemahkan dengan "my Shepherd". Katashepherd selain dapat diartikan dengan gembala, kata itu juga dapat berarti "pelindung". Jadi ayat 1 ini dapat juga diterjemahkan dengan "Tuhan adalah pelindungku". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "melindungi" diartikan dengan menjaga, merawat, memelihara, menyelamatkan supaya terhindar dari bahaya.
Selanjutnya digambarkan tentang gembala yang memimpin/menuntun/ menggiring dombanya ke padang gurun yang berumput hijau dan ke air yang tenang. Pemazmur ingin menekankan bahwa gembala menuntun/menggiring dombanya, bukan kepada tanah yang tandus tetapi ke tempat yang berair, suatu padang rumput yang ideal, dimana para domba dapat memuaskan kehausan dalam ketenangan. Dengan demikian para domba dapat merasakan bahwa jiwanya disegarkan kembali. Pun ketika domba harus berhadapan dengan kekuatan musuh yang ingin memisahkannya dari gembala dan dapat membawanya pada kejatuhan.

Ø  Yehezkiel  34:1-16

Derek Tidball mengatakan bahwa Yehezkiel 34 mengetengahkan manifes Allah yang tidak berubah tentang pelayanan dan berfungsi sebagai panggilan yang mengesankan dan menarik kepada semua gembala untuk memenuhi tugas dan kewajiban mereka serta mempertimbangkan prioritas mereka dalam memberitakan Injil, memulihkan, mengajar, mendorong dan memberi makan; semua ini adalah aspek dari peranan gembala[30].
Gembala Israel atau juga disebut penguasa Israel tidak melaksanakan tanggungjawab sebagaimana yang seharusnya mereka laksanakan. Yehezkiel menyatakan bahwa tugas mereka dilaksanakan atas dasar kepentingan diri sendiri. Mereka tidak memperhatikan domba-dombanya, yang lemah tidak dikuatkan, yang sakit tidak diobati, yang luka tidak dibalut, yang tersesat tidak dibawa pulang, yang hilang tidak dicari, melainkan diinjak-injak dengan kekerasan dan kekejaman (ayat 4). Apa yang mereka lakukan semata-mata untuk kepuasan diri mereka sendiri.
Sikap seperti ini bukanlah sikap seorang  gembala yang bertanggungjawab terhadap domba-dombanya. Melalui nabi Yehezkiel Allah berfirman bahwa gembala-gembala yang demikian akan celaka. Allah sendiri yang akan menjadi lawan gembala-gembala itu, Ia sendiri yang akan menuntut kembali domba-dombanya dan memberhentikan gembala-gembala jahat itu dari tugasnya sebagai gembala.[31] Pekerjaan gembala memang membutuhkan keberanian sebab, ketika musim panas datang gembala-gembala secara terus menerus dan tanpa lelah mencari padang-padang yang baru. Perjalanannya yang jauh sering membawa dia jauh dari rumah dan melewatkan malam-malam yang sepi  dan panjang di alam terbuka di atas bukit-bukit. Tugas seperti inilah yang seringkali diabaikan oleh gembala, mereka tidak menyadari bahwa tugas ini begitu penting. Dengan begitu mereka akan dikenal oleh domba-dombanya.
Melalui nabi Yehezkiel pun Allah mau menunjukkan bagaimana sebenarnya sikap seorang gembala dengan apa yang akan Dia lakukan bagi Israel sebagai kawanan domba-Nya. Ketika mereka tercerai berai, Allah memperhatikan mereka, Ia mencari dan menyelamatkan mereka dari bahaya dan kegelapan kemudian mempersatukan mereka kembali di tempat yang aman dan tenteram di mana berkelimpahan makanan, minuman dan dapat beristirahat dengan tenang. Gembala sebagaimana seharusnya (34:16) adalah bersedia mencari yang hilang, membawa pulang yang sesat, membalut yang luka, menguatkan yang sakit, melindungi  semua domba dengan berbagai keberadaan.

C.2. Perjanjian Baru
Ø  Yohanes 10: 1 - 21.
”Akulah Gembala yang baik”. Kata "gembala" berasal dari kata Yunaniποίμήν (poimên) yang artinya pertama-tama adalah "memberi makan". Yesus sendiri mengungkapkan bahwa Ia sendiri adalah Gembala yang baik. Kata Yunani yang dipakai di sini adalah έγω είμι ο καλος (ego eimi ho kalos). Kata-kata έγωείμι (ego eimi) yang dipakai di sini memberi penegasan bahwa Yesus adalah satu-satunya Gembala Yang Baik. Bahwa tidak ada yang setara dengan Dia sebagai Gembala. Sedangkan kata ο καλος (ho kalos) dipahami dengan dua arti.Pertama, karakteristik dari gembala (ο ποίμήν) artinya bahwa gembala dan domba terbuka satu sama lain, saling mengenal dalam relasi yang akrab. Kedua, kata ini memberi penekanan bahwa Yesus sendiri tidak sama dengan gembala yang lain. Yesus memposisikan diri sebagai gembala yang memberi perhatian besar pada domba-domba dalam rangka memelihara dan menghidupkan. Gembala yang baik itu adalah pintu, (ayat 7, 9), gembala yang baik memberikan nyawanya (ayat I I, 17), gembala yang baik itu mengenal domba-dombanya (dan domba-domba mengenal gembalanya) (ayat 14), la menuntun domba-dombanya(ayat 3, 16), Ia selalu berjalan di depan (ayat 4). Semua itu dilakukan-Nya karena Ia mengasihi domba-domba-Nya.
Ini mengingatkan kita akan kewajiban kita (khususnya para pemimpin umat). Dari gambaran di atas kita dapat mencatat beberapa hal, antara lain, pertama soal hubungan antara domba dan gembala. Mereka harus saling mengenal. Gembala mengenal dombanya satu persatu, dombanya mengenal, bahkan mengenal (sehingga) hanya mendengarkan/menuruti suara gembalanya.
Hal kedua, pernyataan Yesus adalah pintu, bermakna melalui Dia saja manusia masuk kepada Allah. Yesus membuka jalan kepada Allah. Melalui Dia kita akan masuk dan keluar dengan aman.[32] Ini harus diperhatikan oleh setiap pastor/gembala yang adalah pemimpin umat, bahwa ia harus mampu memastikan bahwa domba-dombanya akan selalu dalam keadaan aman, tentram, tak ada kekuatiran.
Ketiga, gembala senantiasa menuntun domba-dombanya. Ia selalu berjalan di depan domba-dombanya (di Palestina ini memang yang selalu dilakukan oleh gembala). Bahkan gembala pergi dahulu untuk melihat dan memastikan apakah jalan itu aman lalu ia membujuk dan meyakinkan dombanya untuk lewat di situ.[33] Jadi gembala tidak pernah tidak memberi keyakinan, memberikan rasa aman. Gembala itu tidak pernah melalaikan tugasnya. Hanya gembala yang senantiasa mengerjakan tugas pelayanannya dengan tidak pernah cuti.
Keempat, bahwa hanya gembala yang baik yang bersedia memberikan nyawanya. Ini bisa kita mengerti kalau sekali lagi kita mengingat tugas berat seorang gembala. Ia bahkan berani mempertaruhkan nyawanya demi membela kawanan domba-dombanya, dari serangan-serangan binatang buas, para pencuri. Gembala yang sejati tidak ragu-ragu untuk mengambil resiko dan bahkan untuk mengorbankan nyawanya bagi domba-dombanya.[34] Hanya kasih yang dapat memungkinkan semua ini.
Dari pengertian di atas dapat kita menarik beberapa catatan kesimpulan yaitu:
Ø  Tuhan sendiri adalah satu-satunya Gembala Agung.
Ø  Tugas penggembalaan itu ialah untuk menguatkan yang lemah, mengobati/menyembuhkan yang sakit, membalut yang luka, membawa pulang yang tersesat, mencari yang hilang, melindungi memelihara yang kuat, menuntun kepada ketenangan.
Ø  Tugas penggembalaan adalah untuk kehidupan dan pertumbuhan
Ø  Gembala dan domba harus saling mengenal, mengenal begitu akrab, sehingga tercipta hubungan yang indah.
Ø  Gembala mesti menjadi pintu bagi domba-dombanya sehingga ia tahu saat mereka masuk   dan keluar, tentu dengan aman, dan bahwa dapat dirasakan, diketahui dan diyakini oleh domba-dombanya.
Ø  Gembala yang sejati bahkan berani mempertaruhkan nyawanya bagi domba-dombanya.
Sungguh ini bukanlah hal yang mudah. Pekerjaan pelayan ini bukan tanpa jerih juang, semangat dan pengabdian tanpa pamrih serta dedikasi dari seorang pastor. Tugas ini adalah tugas yang tidak akan pernah selesai. Tugas ini adalah tugas pelayanan yang terus menerus. Menarik yang dikemukakan oleh Howard Clinebell bahwa orang memang membutuhkan penggembalaan sepanjang hidupnya.[35]

Ø  Yohanes 21:15-19
Di tepi danau Tiberias (Galilea) Yesus hendak menetapkan Petrus sebagai rasul dihadapan rasul-rasul lain. Yesus telah mengampuni Petrus ketika Ia menampakkan diri kepadanya pada hari kebangkitan-Nya. Melalui sebuah pertanyaan: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?”. Dalam bahasa Yunani kata “mereka” tidak ada, hanya dikatakan “lebih daripada ini”. Menurut bahasa Yunani kata “ini”  berarti “orang ini” (murid-murid yag lain) atau “barang ini” (ikan dan alat-alat penangkap ikan)[36].
Yesus menggunakan dua istilah Yunani yang diterjemahkan “mengasihi”. Istilah “agapao” berarti kasih yang tertinggal, seperti kasih Allah kepada kita dan “phileo” berarti kasih kepada kawan atau kasih persahabatan. Phileo tidak setinggi agapao. Pertanyaan Yesus yang pertama dan kedua menggunakan istilah “agapao’ dan Petrus menjawab dengan istilah “phileo”. Lalu ketiga kalinya Yesus bertanya menggunakan istilah “phileo”, hal itulah yang menggerakkan hati Petrus sehingga ia sangat berdukacita[37].
Pertanyaan Yesus bila ditinjau dari segi bahasanya, dapat berarti dua hal yaitu[38]:
  1. Yesus megangkat tangan-Nya menunjuk kepada perahu, alat-alat, pukat, hasil tangkapan ikan, lalu bertanya kepada Petrus, apakah petrus mengasihi Yesus lebih dari semua ini. Dalam pengertian lain apakah Petrus bersedia meninggalkan semua harapan akan karir yag sukses, pekerjaan yang sudah berjalan lancar dan keenakan hidup, membaktikan diri kepada Yesus dan pekerjaan-Nya. Hal ini merupakan tantangan bagi Petrus untuk mengambil keputusan, membuktikan seluruh hidupnya bagi pemberitaan Injil dan pemeliharaan umat Kristus.
  2. Yesus melihat kepada murid-murid, kemudian mengajukan pertanyaan tersebut. Yesus mau mengingatkan Petrus pada waktu malam ketika Petrus berkata: “Biarpun mereka semua terguncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak” (Mat. 26:33). Kelihatannya Yesus hendak memberi peringatan halus kepada Petrus, bahwa pernah Petrus merasa bahwa ia sajalah yang benar dan bahwa keberaniannya telah gagal. Dalam jawabannya Petrus tidak lagi membuat perbandingan, ia hanya menjawab: “ Engkau mengetahui bahwa aku mengasihi Engkau”.
Yesus mengajukan pertanyaan ini sampai tiga kali, sebenarnya mau mengingatkan bahwa tiga kali Petrus menyangkali  Tuhan Yesus. Tiga kali pula Tuhan memberi kesempatan untuk meneguhkan imannya. Yesus, dalam pengampunan-Nya yang murah hati memberi kepada Petrus kesempatan untuk menghapuskan ingatan kepada penyangkalan tiga kali dengan pertanyaan kasih tiga kali juga[39]. Akibat kasih itu maka Petrus mendapat suatu tugas yaitu menggembalakan kawanan domba Allah.
Kita dapat membuktikan kasih kita kepada Yesus hanya dengan mengasihi orang lain. Kasih adalah hak istimewa yang paling besar di dunia, tetapi kasih itu juga memberi tanggungjawab yang terbesar. Kasih yang menuntut suatu penyerahan mutlak kepada Kristus, penyerahan segenap hidup dan tenaga untuk menggembalakan domba-domba Yesus. Mulai saat itu Petrus sudah menyatakan dan membuktikan kasihnya kepada Yesus Kristus dengan keberaniannya mengabarkan Injil sehingga  ia mati sahid demi Kristus. Yohanes mencatat peristiwa ini untuk menunjukkan Petrus sebagai gembala besar dari umat Kristus. Petrus mendapat kehormatan dan tugas yang indah untuk menjadi gembala domba-domba Kristus.
Menggembalakan domba-domba bukan suatu pekerjaan yang mudah seolah-olah hanya di lembah-lembah yang permai di mana anak sungai mengalir dan burung-burung menyanyi. Adakalanya gembala itu harus ke gunung dan bergumul dengan serigala, menderita gigitan serigala dalam usahanya untuk menyelamatkan seekor domba. Hanya kasih yang tinggi dan tulus yang dapat melaksanakan amanat yang baru itu, yakni menggembalakan dan memelihara domba-domba Yesus. Tiap-tiap orang yang bekerja di ladang Tuhan harus lulus dalam ujian itu. Gembala hendaknya melukiskan kepada kita suatu gambaran mengenai kesiagaan yang terus menerus dan kesabaran kasih Allah. Mengingatkan kepada kewajiban terhadap orang lain khususnya jika kita memangku jabatan dalam gereja Kristus.
Kita di Indonesia, agaknya, peranan gembala (ternak) itu kurang mendapat perhatian. Berbeda dengan peranan gembala di dunia Timur Tengah. Dunia Timur Tengah adalah dunia atau konteks penulisan Alkitab. Karena itu baiklah kita mengerti
                       
4. Fungsi-fungsi Pelayanan Pastoral[40]        
Yang dimaksud dengan fungsi di sini adalah kegunaan dan manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan pastoral tersebut. Karena itu dapat dikatakan bahwa fungsi pelayanan ini merupakan tujuan-tujuan operasional yang ingin dicapai.[41]
Dari penelitian penulis terhadap beberapa literatur dapat disebutkan bahwa paling sedikit ada enam fungsi pastoral:
a. Fungsi Mengasuh/Memelihara
Tujuan dari fungsi ini adalah memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka di sepanjang perjalanan hidup mereka, sebagai kekuatan yang dapat diandalkan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Jadi setiap orang perlu ditolong untuk berkembang karena itu diperlukan pengasuhan dan pemeliharaan ke arah pertumbuhan melalui proses (pendampingan) pastoral.
b. Fungsi Menyembuhkan
Fungsi ini penting dalam arti melalui pendampingan bagi mereka yang sakit atau menderita dukacita dan luka batin akibat kehilangan atau terbuang yang biasanya berakibat pada penyakit psikomatis (suatu penyakit yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang berat). Ini diperlukan perhatian dengan penuh kasih sayang, rela mendengarkan dengan kekuatan batin dan kepedulian yang tinggi, bisa membuat orang yang sedang menderita mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk ke arah penyembuhan yang sebenarnya. Melalui interaksi ini si pastor atau pendamping dapat membawa si penderita pada hubungan imannya dengan Tuhan, misalnya, melalui doa, pembacaan Alkitab yang sekaligus sebagai sarana penyembuhan batin. Hal ini sekaligus juga dapat membantu penyembuhan fisik.
c. Fungsi Membimbing
Ini dimaksudkan untuk membantu orang bingung dalam kesulitan untuk memilih, mengambil keputusan dan jalan yang benar. Jika di sini si pembimbing mengemukakan beberapa kemungkinan yang bertanggungjawab dengan segala resikonya, sambil membimbing ke arah pemilihan yang berguna. Pengambilan keputusan tetap berada di tangan orang yang didampingi (penderita).
d. Fungsi Menopang/Menyokong
Fungsi ini lebih memberi perhatian pada usaha/upaya untuk membantu orang agar bertahan dalam situasi krisis (misalnya karena kehilangan orang yang dikasihi/kematian/perceraian/sakit). Sokongan (paling kurang) berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka, ini akan mengurangi penderitaan yang begitu memukul.
e. Fungsi Mendamaikan/Memperbaiki Hubungan
Ini merupakan usaha untuk membangun kembali hubungan-hubungan yang rusak di  antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain, manusia dengan Allah. Dalam fungsi ini si pendamping harus menjadi cermin. Ia perlu melakukan analisis mana yang mengancam hubungan itu, serta mencari altenatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Dalam menghadapi hubungan yang rusak antara manusia dengan manusia, ia hendaknya orang yang netral atau penengah yang bijaksana.
f. Fungsi Mengutuhkan
Fungsi ini adalah fungsi pusat/inti karena sekaligus merupakan tujuan utama dari pendampingan/pelayanan pastoral, yakni pengutuhan kehidupan manusia dalam setiap aspek kehidupannya yakni fisik, sosial, mental dan spiritual. Kerusakan, keretakan, kehancuran dan kebobrokan (yang menyebabkan penderitaan) adalah lawan dari keutuhan. Dalam proses pelayanan pastoral untuk memenuhi fungsi ini, demikian juga terhadap fungsi-fungsi yang lain tentu memerlukan perencanaan serta strategi pelayanan yang efektif, efisien dan matang.
                                                                                                                       
C.    HIV/AIDS SEBAGAI TEMA PELAYANAN PASTORAL
            Setelah uraian di atas, menjadi sangat jelas bagi kita, bagi gereja, mengapa saya begitu serius mendorong supaya persoalan HIV/AIDS secara urgen harus menjadi salah satu tema atau pokok dalam pelayanan pastoral. HIV/AIDS dalam kondisi sekarang bukan lagi merupakan persoalan orang asing, persoalan bangsa asing, atau persoalan sekelompok orang atau agama tertentu, tapi sudah menjadi persoalan semua orang. HIV/AIDS sudah menjadi persoalan kemanusiaan di jagad raya ini. Oleh karena ini telah menjadi persoalan kemanusiaan maka itu berarti itu juga telah menjadi persoalan bagi gereja dan bahkan persoalan bagi semua agama di muka bumi ini.
            Ketika kita bersepakat untuk menjadikan persoalan HIV/AIDS sebagai persoalan kemanusiaan, maka itu berarti tuntutan untuk memberi perhatian serius pada persoalan ini bukan saja sekedar pilihan tetapi harus menjadi tanggungjawab. Tanggungjawab gereja, tanggungjawab semua agama dan tanggungjawab kita semua secara bersama. Sampai di sini, sekali lagi, bahwa tidak ada alasan bagi gereja untuk menolak jika ada tuntutan dan desakan untuk melihat dan menjadikan persoalan HIV/AIDS sebagai persoalan pelayanan pastoral.
Dengan pernyataan di atas saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seolah-olah pelayanan pastoral nanti dilaksanakan ketika ada persoalan. Sama sekali tidak. Tetapi oleh karena HIV/AIDS memang secara realistis telah menjadi persoalan, bahkan persoalan kemanusiaan secara global, maka saya masuk dalam kondisi tersebut.
            Sekarang tentu kita bisa bertanya “di mana titik singgung antara persoalan-persoalan HIV/AIDS dengan pelayanan pastoral?”. Menurut saya, salah satu titik singgungnya terletak pada bagaimana gereja mengimplementasikan fungsi-fungsi pelayanan pastoral dalam menghadapi berbagai kondisi yang dialami oleh ODHA.
            Saya tidak bermaksud mengulangi apa yang telah saya jelaskan, yakni tentang fungsi-fungsi pelayanan pastoral. Bahwa pengulangan bukan sekedar pengulangan, tapi pengulangan untuk mengingatkan kembali. Saya bermaksud untuk menegaskan betapa indahnya ketika fungsi-fungsi pelayanan pastoral sebagaimana di jelaskan di atas dapat diberlakukan terhadap ODHA dalam segala kondisinya. Tentu tidak hanya untuk ODHA, tetapi juga untuk semua warga gereja dalam panggilannya untuk saling menggembalakan, baik terhadap ODHA maupun dalam upaya pencegahan dari bahaya HIV/AIDS.
            Fungsi mengasuh/memelihara akan sangat penting dalam pelayanan pastoral kepada ODHA. Dengan ini ODHA diharapkan dapat tetap dimampukan untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka disepanjang perjalanan hidupnya dan untuk tetap melanjutkan kehidupannya sekalipun dalam situasi sulit. Demikian juga dengan warga gereja pada umumnya, akan tetap saling memelihara cinta kasih dalam hubungan-hubungan yang harmonis baik dengan sesama warga gereja, termasuk dengan ODHA, maupun dengan Tuhan.
Fungsi menyembuhkan dalam pelayanan pastoral tentu tidak harus dipahami dalam pengertian penyembuhan fisik. Upaya penyembuhan psikis karena adanya stigmatisasi negatif dan penolakan dari masyarakat justru akan besar pengaruhnya terhadap kondisi ODHA. Begitu pula dengan rekan sekerja/sepelayanan atau keluarga dari ODHA yang telah menderita dengan sangat parah bahkan jika telah meninggal, tentu bisa saja mengalami dukacita dan luka batin yang biasanya berakibat pada psikomatis (suatu penyakit yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang berat). Ini tentu memerlukan perhatian yang penuh kasih sayang dan kepedulian yang tinggi, sehingga bisa membuat orang yang sedang menderita tetap merasa aman. Dalam kondisi yang indah ini orang yang menderita dapat dibawa pada hubungan yang indah dengan Tuhan.
Fungsi membimbing dalam pelayanan pastoral tentu akan sangat penting artinya bagi semua warga gereja khususnya ODHA dalam menghadapi berbagai aspek persoalannya. Warga gereja dibimbing dan saling membimbing supaya tidak tertular HIV/AIDS. Seseorang yang telah divonis sebagai ODHA tentu juga sangat membutuhkan bimbingan untuk keluar dari kebingungan dan kesulitannya. Ia mesti dibimbing untuk dapat memilih atau mengambil keputusan yang benar dan bertanggungjawab.
            Fungsi menopang/menyokong akan sangat bermanfaat, secara khusus bagi ODHA, untuk dapat bertahan dalam situasi krisis. Situasi krisis juga bisa terjadi pada keluarga, rekan sekerja/sepelayanan dari ODHA. Krisis bisa terjadi misalnya karena adanya penolakan dari lingkungan sekitar (karena salah paham tentang HIV/AIDS) terhadap ODHA. Dalam kondisi ini, topangan/sokongan, sekurang-kurangnya dapat berupa kehadiran dan sapaan yang menyejukkan serta sikap terbuka terhadap ODHA akan mengurangi penderitaan yang dialami oleh ODHA.
Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan akan sangat bermanfaat bagi upaya untuk membangun kembali hubungan-hubungan yang rusak yang telah melibatkan ODHA. Rasa benci, dendam, depresi, ketidakstabilan emosi, stigmatisasi negatif, pengucilan, bisa merusak hubungan kemanusiaan, bahkan mungkin hubungan dengan Tuhan.
            Fungsi mengutuhkan kehidupan manusia merupakan inti sekaligus tujuan utama dari pelayanan pastoral. Bahwa kerusakan, keretakan, kehancuran dan kebobrokan yang menyebabkan penderitaan merupakan lawan dari keutuhan. Bahwa pelayanan pastoral terhadap warga gereja pada akhirnya dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun keutuhan. Keutuhan sebagai manusia ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah dan juga keutuhan sebagai warga gereja dan sekaligus sebagai tubuh Kristus.                       


[1] NOMAD Foundation & CWS Indonesia, Informasi Dasar HIV/AIDS, PMS, Kesehatan Reproduksi dan NAPZA (t.t.,t.p.,t.th.)
[2] Ibid. 
[3] KSAIDS UKIT, Informasi Tentang AIDS (t.t.,t.p.,t.th)
[4] Nora Lumentut, Informasi Dasar PMS, HIV & AIDS (t.t.,t.p.,t.th.), hlm. 7
[5] Komisi Penanggulangan AIDS Sulut, Loc.Cit. 
[6] Nora Lumentut, Epidemi HIV/AIDS di Sulawesi Utara (t.t.,t.p.,t.th.)
[7] Komisi Penanggulangan AIDS Sulut, Op.Cit., hlm. 8 
[8] KSAIDS UKIT, Loc.Cit., Bnd. Lumentut, Informasi Dasar PMS, HIV & AIDS, Op.Cit., hlm. 10., NOMAD Foundation & CWS Indonesia, Loc.Cit.  
[9] Lumentut, Ibid., hlm.13
[10] Lumentut, Ibid., hlm. 8
[11] KSAIDS UKIT, Ibid.
[12] Bnd. Lumentut, Op.Cit., hlm. 16, KSAIDS UKIT, Loc.Cit., NOMAD Foundation, Loc.Cit.
[13] Benjamin Davidson, The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon(Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1970), pp. 686-687.
[14] Harold K. Moulton, The Analytical Greek Lexicon (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1978), p. 333. 
[15] Lih. Aart Martin van Beek, Konseling Pastoral (Semarang: Satya Wacana, 1987,. ­Bnd. Aart Martin van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 10., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L)(Jakarta: YKBK, 2000), him. 330; Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 613; Alan Richardson - John Bowden (ed.), A New Dictionary ofChristian Theology (London: SCM Press Ltd, 1987), p. 428.
[16] van Beek, Konseling Pastoral, Ibid.
[17] Steward Hiltner, "Pengantar Untuk Teologi Pastoral" dalam Tjaard G. Hommes dan E. G. Singgih, Loc.Cit.
[18] Ibid., hlm. 73.
[19] Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 32.
[20] Ibid .. hlm. 46, 85, 86.
[21] Alastair CampbeIl, Profesionalisme dan Pendampingan Pastoral(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 51.
[22] G. Heiting, " Pendampingan Pastoral sebagai Profesi Pertolongan" dalam Jaard G.Hommes,Op.Cit., hlm. 405 
[23] M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan Itu (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 1
[24] J. L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 9, 13
[25] Lih. Lima Dokumen Keesaan Gereia PGI (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), him. 59, 60.
[26] BPSGMIM, Tata Gereia GMIM 1999 (Tomohon: BPS GMIM,1999), him. 133 -134. 
[27] Ibid
[28] M. C. Barth dan B. A. Pareira, Tafsiran Kitab Mazmur 1-72 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), him. 291-292
[29] Ibid
[30] Derek Tidball, Teologi Penggembalaan (Malang: Gandum Mas 1998) hlm. 53-54
[31] Band. Joseph Blenkinsopp, Ezekiel Interpretation (Lousiville: John Knox Press 1990), p. 157
[32] William Barclay, Penafsiran Alkitab Setiap Hari Yohanes 8: 21(Jakarta: BPKGM, 1996), hlm. 93, 94
[33] Ibid., hlm. 89
[34] Ibid., hlm. 97
[35] Clinebell, Loc.Cit
[36] J. Wesley Brill, Tafsiran Injil Yohanes (Bandung: Yayasan Kalam Hidup 1999) , hl 219
[37] Ibid., hlm. 220
[38] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Yohanes 8-21(Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996), hlm. 441-442
[39] Ibid., hlm.442
[40] Ibid., hlm. 53-55; Beek, Op.Cit., hlm.13-17; Abineno, Op.Cit., hlm. 48-66
[41] Beek, Op.Cit., hlm. 13

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AD/ART GMKI

UNIVERSALISME MENURUT YUNUS 3: 1 - 10